Kamis, 08 Juli 2010

Tafsir Mujahid Bin Jabr

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah sebuah kitab petunjuk tentang kehidupan bagi manusia dari berbagai apeknya. Hal ini sudah bukan hal yang baru terdengar di telinga umat Islam, bahkan dapat dipastikan seratus persen masyarakat Islam mengetahui akan hal tersebut. Namun entah bagaimana kitab petunjuk itu masih belum bisa dimaksimalkan manfaatnya oleh manusia, umat Islam khususnya. Jika dilihat dari sudut pandang yang lain, tidak memasyarakatnya kandungan al-Qur’an itu dapat dikatakan hal yang maklum karena mengingat al-Qur’an itu hanya berisi simbol-simbol yang tidak semua orang dari semua kalangan dapat dengan mudah mengerti maksud yang ada di dalamnya.
Untuk problematika yang kedua ini, tampaknya tidak terlalu sulit dalam mencari solusinya karena sejak dari awal turunnya, al-Qur’an sudah diiringi oleh penjelasannya, baik yang datang dari al-Qur’an itu sendiri ataupun yang diterangkan oleh Rasulullah SAW selaku orang yang diberi otoritas penuh oleh Sang pemilik al-Qur’an untuk tugas tersebut. Upaya untuk memahami al-Qur’an itu tidak berhenti hanya pada masa Rasulullah -walaupun memang dengan wafatnya Rasulullah maka menandakan bahwa pewahyuan al-Qur’an telah selesai sekaligus orang yang paling mengerti tentang al-Qur’an setelah Qailnya sendiri sudah tidak ada lagi- karena memang kebutuhan masyarakat terhadap kitab yang juga mu’jizat terbesar nabi Muhammad ini tidak akan pernah berujung di samping juga karena alasan-alasan lainnya. Dilatar belakangi oleh fenomena tersebut maka para sahabat dan generasi selanjutnya dan berlangsung sampai sekarang al-Qur’an tidak akan pernah habis untuk ditafsirkan sebagai upaya menyelesaikan persoalan ini. Dari sini al-Qur’an sudah mulai menjadi objek yang interpretable
Secara kronologis, orang yang paling dipandang dan menjadi sorotan setelah Nabi dalam menjalankan tugas kenabiannya sebagai pemimpin umat adalah sahabat-sabat beliau. Seketika itu sahabat harus bertindak demi menjaga kelangsungan hidup umat Islam selanjutnya, salah satu usaha yang dilakukan mereka adalah dengan mencoba menjelaskan ulang sekaligus menambahnya karena pada masa itu dinamika masyarakat Islam juga bertambah kompleks, banyak kasus terjadi yang tidak pernah ada sebelumnya.
Koleksi tafsir al-Qur’an pun bertambah, yang hanya tafsir Nabi, pada masa ini terdapat Tafsir sahabat. Sudah menjadi tugas sahabat tentunya untuk senantiasa mengajari dan membimbing umat Islam ke jalan yang benar sebagaimana dicontohkan Rasul. Untuk menjalankan misi ini sahabat tidak hanya berdiam di satu tempat, mereka berpencar di berbagai daerah islam yang memang pada saat itu sudah meluas. Akan tetapi hendak diperhatikan pula bahwa tidak semua sahabat mempunyai kualitas penafsiran yang sama, sebagian lebih menonjol dan sebaliknya bagi sebagian yang lain. Di antara banyak sahabat itu ada beberapa nama yang menonjol dalam urusan menafsirkan al-Qur’an yang juga menjadi icon mufasir dari kota yang mereka tempati. Para penafsir terkemuka itu adalah Abdullah bin Abbas di Makkah, Ubay bin ka’ab di Madinah dan Abdullah bin Mas’ud di Irak.
Masing-masing dari sahabat itu dapat dikatakan sukses dalam menjalankan misinya terbukti dengan berhasil mendidik beberapa muridnya dari generasi tabi’in yang kepopulerannya tidak jauh beda dengan guru-gurunya. Murid-murid mereka yang fenomenal itu adalah, Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, Ikrimah, Thawus bin Kisan al-Yamany dan Atha’ bin Rabah, mufasir dari kalangan tabi’in didikan Ibnu Abbas di Makkah, Abu al-‘Aliyah, Zaid bin Aslam dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurdly, tokoh-tokoh penafsir tabi’in murid Ubay bin Ka’ab di madinah dan Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamdany, Amir al-Syu’by, al-Hasan al-Bashry dan Qatadah bin Di’amah al-Sadusy, para mufasir tabi’in murid Ibnu Mas’ud di madinah.
Nama-nama ini yang kemudian mengemban amanat melaksanakan tugas menggantikan gurunya. Sampai pada periode ini berarti tafsir al-Qur’an semakin berkembang dan beragam, dokumen tafsir al-Qur’an bertambah satu lagi, tafsir Nabi, Sahabat dan tafsir tabi’in. penafsiran mereka tidak terlalu berbeda dari penafsiran guru-gurunya, sebagian besar masih bercampur dengan riwayat hadis, namun demikian satu hal yang menjadi poin utama yang membedakan tafsir tabi’in dengan tafsir periode sebelumnya. Pada kurun tabi’in penafsirannya sangat kental dengan nuansa penafsiran gurunya masing-masing sehingga tafsir pada masa ini mulai muncul benih-benih perbedaan dan aliran-aliran di samping juga mulai ada upaya untuk menulis tafsir menjadi satu kitab tafsir yang mandiri.
Seperti para sahabat, mufasir tabi’in ini tidak semuanya memiliki kemampuan yang sama, hal ini berdampak pula pada penafsiran yang ia hasilkan. Kendati demikian, produk penafsiran para tabi’in ini banyak dijadikan sumber rujukan oleh para mufasir berikutnya, seperti Ibnu Jarir al-Thabary dan teman-temannya yang lain yang berlanjut hingga mufasir masa modern bahkan juga abad kontemporer.
Akan tetapi sangat disayangkan, generasi muda Islam sekarang banyak yang tidak begitu mengenal tafsir karya generasi ketiga dalam dunia Islam ini padahal hal yang satu ini merupakan bagian dari khazanah keilmuan Islam yang sangat berharga. Mereka lebih asyik dengan tafsir-tafsir yang banyak bertebaran di depannya yang lebih mudah dijangkau dan melupakan hal-hal yang tersembunyi ditelan sejarah dan enggan untuk mengungkapnya. Sebagai contoh, sebut saja Tafsir Mujahid, Tafsir Muqatil bin Sulaiman dan yang lainnya.
Berdasarkan realita tersebut, sangat tepat apabila ada inisiatif untuk mengangkat tema kajian terhadap kitab tafsir karya para tabiin ini. Disebabkan hal itu pula tulisan yang ada di depan pembaca ini mengangkat tema pembahasan tentang salah satu karya tafsir dari salah seorang mufasir tabi’in, yaitu Tafsir Mujahid. Selain untuk memperkenalkan ulang, kajian ini diharapkan pula akan membawa kekritisan para konsumen tafsir dalam mempelajarinya.
Kajian kiab Tafsir Mujahid ini tidak terbatas pada penjelasan mengenai materi kitabnya saja, akan tetapi kajian tokoh penulisnya juga tidak ditinggalkan di dalamnya karena merupakan hal yang sangat urgen dalam kegiatan mengkaji kitab tafsir untuk mengenal sosok mufasirnya terlebih dahulu sebab peran mufasir dan segala hal yang mengitarinya itu sangat besar pengaruhnya terhadap suatu penafsiran.
Tulisan ini akan membawa pembaca sekalian kembali ke empat belas abad yang lalu, hal ini juga yang sebenarnya menjadi salah satu latar belakang diangkatnya tema ini. Teringat tentang satu kredo kepenulisan tentang sejarah yang dilontarkan oleh Louis Cottschalk, bahwa merekonstruksi sejarah secara utuh adalah sebuah kemustahilan, sebab ia bersifat lampau. Yang ada hanyalah mengumpulkan serpih sejarah yang berserak. Dengan mencoba merangkai serpihan-serpihan peninggalan sejarah yang masih tersisa itu, di dalam makalah ini akan dicoba untuk ditampilkan bagian sejarah yang sudah mulai terlupakan itu dengan semaksimal mungkin.

B. Rumusan Masalah
Mayoritas orang yang bergelut di dunia tafsir, khususnya generasi Islam masa ini hampir tidak mengenal Tafsir Mujahid baik secara umum apalagi secara spesifik mulai dari sosok mufasirnya, bentuk kongkrit kitabnya, metode yang digunakan dan kecenderungannya. Padahal di sisi yang lain diketahui bahwa Mujahid adalah penafsir yang banyak dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika makalah ini mencoba untuk mengungkap lebih lanjut tentang Tafsir karya seorang tabi’in ini.
Selain itu, karena mengingat setiap karya tafsir termasuk tafsir Mujahid kebenarannya tidak bersifat mutlak (relatif-spekulatif), maka tafsir ini bukan merupakan sesuatu yang instan untuk dikonsumsi. Oleh karena hal tersebut, tafsir karya Mujahid ini masih terbuka untuk dianalisa dan dikritisi dari berbagai perspektif oleh para penikmat tafsir.

C. Metode Penelitian
Sebuah karya ilmiah tidak terkecuali makalah ini, sangat membutuhkan metode penelitian sebagai instrumen untuk membedah dan menjelaskan segala sesuatu yang ada di dalam setiap permasalahan.Karena bagaimana pun metode merupakan sesuatu yang urgen sebagai jembatan menuju penelitian yang fokus dan terarah sehingga menghasilkan data-data yang valid.
1. Jenis Penelitian
Jika dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (LibraryResearch) yang berarti penelitian ini menitik beratkan pada pembahasan yang bersifat literatur.
a. Sumber Primer
Tafsir Mujahid
b. Sumber Sekunder
- Al-Tafsir wa al-Mufassirun
- Thabaqat al-Mufassirin
- Jami’ al-Bayan, tafsir Al-Thabari
- Sumber-sumber lain yang terkait dengan pembahasan dalam Makalah ini, baik dari literatur buku, internet dan kepustakaan digital.


BAB II
MUJAHID dan TAFSIRNYA

A. Latar Belakang Mufasir
Nama lengkap dari mufasir kitab ini adalah Mujahid bin Jabr ada pula yang menyebutnya Mujahid bin Jubair yang mempunyai kunyah Abu al-Hajjaj dan Abu Muhammad dan berlaqab al-Qurasyi, al-Makky, al-Makhzumy, juga al-Muqri’, al-Mufassir dan al-Muhaddits. Selain sebagai seorang mufasir, ia juga dikenal sebagai muhaddisin dan muqri’ sesuai dengan disiplin ilmu yang digelutinya. Tokoh ini dilahirkan di Makkah pada tahun 21 H dalam keluarga Muslim pada masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab. Mujahid wafat pada tahun 104 H setelah kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Namun ada pula yang mengatakan bahwa tahun wafatnya itu 101, 102, dan103 H. Di kota yang sama pada usia 83 tahun dalam keadaan bersujud. Dengan demikian berarti Mujahid hidup di dua masa pemerintahan Islam, Khulafaur Rasyidin dan Umayyah.
Mujahid adalah seorang budak, namun mengenai tentang siapa tuannya terdapat beberapa perbedaan. Ada yang mengatakan dia adalah budak dari Al- Saib bin Abi Saib al-Makhzumi, hal ini dikemukakan oleh Abdul Ghani bin Abdul Wahid al-Maqdisi. Dan pendapat inilah yang diambil oleh Al-Dzahabi. Pendapat lain mengatakan dia juga budak dari Qais bin Saib yang dinyatakan oleh Abdur Rahman bin Mahdi, Mus’ab, Ali ibn al-Madini, Muhammad bin Abdur Rahim, Muhammad bin Sa’ad, Abu ’Amr al-Dani dan Abu Ja’far bin al- Badzisy. Namun ada pula yang mengatakan bahwa Mujahid ini merupakan budak dari Abdullah bin Saib bin Abi Saib, pendapat ini dijelaskan oleh Ahmad bin Hambal, Bukhari dan Muslim. Dari semua perbedaaan pendapat di atas, pada hakikatnya sama-sama berdasarkan riwayat dari Mujahid sendiri. Hal menandakan adanya kemungkinan dia adalah budak dari beberapa orang.
Pengarang tafsir yang satu ini masih tergolong dari kalangan tabi’in, lebih tepatnya ia adalah salah satu murid Ibnu Abbas yang kajian tafsirnya berpusat di Makkah. Menurut riwayat yang ada dari beberapa murid Ibnu Abbas lainnya, dia adalah yang paling sedikit meriwatkan dari Ibnu Abbas. Namun, dia adalah yang paling siqah. Karena alasan tersebut Imam Syafi’i, Bukhari dan yang lainnya menjadikannya sebagai salah satu referensi dalam hal tafsir. Al-Fadl bin Maimun meriwayatkan bahwasanya Mujahid pernah berkata ”Saya mebacakan al Qur’an pada Ibnu Abbas sebanyak tiga puluh kali, di setiap ayat saya berhenti dan menanyakan padanya mengenai asbabun nuzul dan kandungan dari ayat tersebut. Pernyataan ini senada dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, gurunya sendiri.
Tabi’in ini termasuk tipe orang yang tidak mudah puas dengan informasi atau kabar yang hanya dia dengar tanpa melihat langsung dan membuktikannya secara empiris mengenai informasi tersebut. Dalam rangka hal tersebut, dia mengadakan perlawatan ke beberapa negara, di antaranya, Yaman, Mesir, Kufah, Negara-negara timur, Madinah , Raudas dan Kostantinopel. Di samping juga di tempat kelahirannya sendiri. Di beberapa daerah itu , ia tidak hanya memperdalam tafsir dan hadis akan tetapi ia juga mentransfer ilmunya dengan mengajar al- Qur’an.
Dari perjalanannya itu, ia banyak bertemu dengan tokoh-tokoh intelektual muslim dan dari mereka itu ia meriwayatkan hadis yang sekaligus mereka telah menjadi gurunya. Mereka adalah:
1. Ali bin abi Thalib
2. Sa’ad bin Abi Waqqash
3. Aisyah binti Abu Bakar
4. Abdurrahman bin Shakhr, yang populer dengan Abu Hurairah
5. Sa’ad bin Malik (Abu sa’id al-Khudry)
6. Abdullah bin ’Amr bin ’Ash
7. Abdullah bin Abbas
8. Jabir bin Abdillah
9. Rafi’ bin Khudaij
10. Abdullah bin Umar bin Khattab
Selain kesepuluh nama di atas, masih banyak lagi guru-gurunya yang lain seperti Ummu Salamah, Ummu Hani’ dan sebagainya.
Sedangkan murid-muridnya adalah:
1. Ikrimah
2. Fadil bin Umar
3. Qatadah bin Di’amah bin Qatadah
4. Atha’ bin Abi Rabah
5. Umar bin Dinar al-Atsram
6. Muhammad bin Muslim bin Tadarras
7. Umar bin Abdullah bin Ubaid
8. Ayyub bin Kisan
9. Fathar bin Khalifah
10. Abdullah bin ’Awn.
Banyak ulama menilai Mujahid itu sosok yang siqah, faqih, alim, wara’, ’abid dan taqwa. Selain itu, ia juga diakui sebagai imam dalam hal tafsir dan ilmu. Mengenai karyanya, tercatat bahwa tafsir Mujahid ini adalah satu-satunya karya tulis beliau.

B. Keberadaan Kitab Tafsir Mujahid
Kitab yang menjadi bahasan dalam tulisan ini berjudul Tafsir Mujahid dinisbatkan kepada pengarangnya. Kitab karya Mujahid ini awalnya berbentuk manuskrip-manuskrip yang ditemukan sekitar tahun 1149 M di penerbit Dar al-Kutub al-Missriyyah. Manuskrip ini berjumlah sebanyak delapan volume versi Fu’ad Sayyid dengan susunan sebagai berikut:
Jilid 1 memuat surat al Baqarah sampai ayat 43 surat an Nisa’
Jilid 2 memuat dari ayat 44 surat an Nisa’ sampai surat al-Anfal
Jilid 3 memuat dari surat at-Taubah sampai ayat 24 surat Bani Israil
Jilid 4 memuat dari ayat 25 surat Bani Israil sampai ayat 25 surat al Furqan
Jilid 5 memuat dari ayat 27 surat al-Furqan sampai akhir surat Yasiin
Jilid 6 memuat dari surat as-Shaffat sampai akhir surat an-Najm
Jilid 7 memuat dari surat al-Qamar sampai akhir surat ’Amma Yatasaalun
Jilid 8 memuat dari surat an-Nazi’at sampai akhir surat an-Nas.
Data-data ini diriwayatkan oleh Abu al-Qasim Abd Rahman ibn Ahmad ibn Muhammad ibn 'Ubayd al-Hamadzani dan sampai pada Mujahid melalui Ibrahim dari Adam dari Warqa' dari Abu Najih.
Permulaan dan akhir dari kumpulan manuskrip-manuskrip yang ditemukan di penerbit Dar al-Kutub al-Missriyyah tersebut berhubungan dengan catatan yang berdasarkan riwayat Abu Mansur Muhammad ibn Abd Malik ibn Hasan Ibnu Khayrun dari pamannya yakni Abu Fadl Ahmad ibn Hasan ibn Khayrun dari Abu Ali Hasn ibn Ahmad ibn Ibrahim ibn Hasan ibn Muhammad ibn Shadhan, dari Abu al-Qasim Abd al-Rahman ibn Hasan. Permulaan pembahasan-pembahasan riwayat ini mengenai jilid pertama yang dimulai pada 1 Rajab 538 H dan rampung pada hari Selasa 18 Rabi’ul Awwal 544 H. Versi ini merupakan ringkasan dari penafsiran-penafsiran Mujahid yang telah diringkas oleh kolektor dari sebuah naskah di tangannya.
Dia telah berusaha dalam resensi ini untuk menahan diri dari menceritakan legenda dari Ahl al-Kitab dan pembaca jarang yang menemukan segala sesuatu yang berkaitan dengan apa yang disebut Israiliyyat. Sebuah jiplakan manuskrip ini dibuat oleh masyarakat untuk penelitian Islam di Pakistan. Hal ini telah diedit dan diberi pengantar oleh Abd. Rahman al-Surati Tahir dalam dua volume di bawah perlindungan Emir Qatar, Syekh Hamd bin Khalifah Al-Thani. Teks editan ini kemudian dicetak oleh penerbit al-Manshurat al-Ilmiyyah, Beirut. Ini dapat dikatakan bahwa dalam catatan kaki editor menyebutkan variasi dalam teks penafsiran serta sebagai bahan tambahan yang ditemukan di dalam komentar al-Tabari dan telah menyelesaikan pekerjaan yang sulit dan berguna.
Ada dua naskah penafsiran Mujahid di dalam karya tafsir milik penafsir terkenal, Syaikh Muhammad Sholih Barghani Ha’iri (w. 1271/1854). Yang pertama dari mereka pada sekitar abad ke 8 H/14 M, dan dia mengutip dari dalam nya penafsiran Bahru al-Irfan. Yang kedua, tanggal 490 H. adalah manuskrip berharga dan unik yang telah diperoleh setelah 1266/1849; itu berisi komentar eksegetis pada banyak ayat-ayat yang berkaitan dengan wilayah Amir al-Mu'minin (Ali bin Abi Thalib) dan kesempurnaan para imam dari keluarganya serta kebaikan-kebaikan mereka. Dalam penafsiran lain bernama Kanz al-lrfan, dia juga termasuk golongan mereka. Yang kedua, lebih lengkap dari yang pertama, dan masing-masing lebih komprehensif daripada manuskrip dari Dar Al-Kutub Al-Misriyyah dan kitab-kitab itu dapat diakses pada saat ini dalam koleksi naskah penulis seorang keturunan Allamah Barghani di kota suci Karbala.
Namun ada perbedaan mengenai ayat yang telah ditafsirkan oleh Mujahid ini. Yakni ada pernyataan bahwa penafsirannya terdiri dari satu jilid yang memuat tafsiran al-Qur’an dengan redaksi hadis. Bentuk penafsirannya sesuai urutan mushaf namun tidak secara keseluruhan, hanya parsial yang tertentu pada beberapa surat dan ayat saja. Adapun rincian isi penafsirannya sebagai berikut:
1. Surat al-Baqarah ayat 1, 25, 41, 73, 247, 255, 260 dan 271.
2. Surat Ali Imran ayat 1, 13, 24 dan 188.
3. Surat al-Nisa’ ayat 1, 3, 6, 9, 12, 17, 19, 24, 25, 27, 33, 34, 35, 37, 43, 46, 47, 49, 54, 60, 72, 83, 85, 88, 91, 92, 97, 102, 104, 115, 127, 128, 130, 143, 152 dan 160.
4. Surat al-Maidah ayat 1, 3, 5, 6, 12, 13, 20, 27, 32, 38 dan 107.
5. Surat al-An’am ayat 1, 8, 23, 26, 50, 54, 60, 71, 82, 96, 109, 121, 123, 137, 141, 142, 148 dan 159.
6. Surat al-A’raf ayat 1, 11, 20 dan 158
7. Surat al-Anfal ayat 1, 5, 17, 21, 29, 33, 38, 43, 47, 56, 61 dan 66.
8. Surat al-Taubah ayat 1, 3, 6, 9, 19, 28, 34, 38, 40, 43, 49, 58, 61, 74, 80, 102, 110, 117 dan 126
9. Surat Yunus ayat 1, 9, 21, 35, 71, 73, 88 dan 98.
10. Surat Hud ayat 1, 7, 14, 18, 32, 41, 49, 63 dan 116.
11. Surat Yusuf ayat 1 dan 7.
12. Surat al-Ra’d ayat 1, 6, 7, 12, 16, 26, 33, 38 dan 43.
13. Surat Ibrahim ayat 1, 15 dan 24.
14. Surat al-Hijr ayat 1, 9, 39, 62, 76 dan 94
15. Surat al-Nahl ayat 1, 14, 32, 52, 69, 80, 91, 101, 106, 112 dan 125.
16. Surat al-Isra’ ayat 1, 8, 13, 23, 25, 31, 36, 57, 62, 64, 72, 78, 79, 92 dan104.
17. Surat al-Kahfi ayat 1, 12, 18, 29, 50, 59, 64, 85, 91 dan 108.
18. Surat Maryam ayat 1, 7, 13, 27, 58, 69, 73, 75 dan 89.
19. Surat Taha ayat 1, 6, 46, 115, 124 dan 133.
20. Surat al-Anbiya’ ayat 1, 13, 21, 25 dan 104.
Kitab ini untuk ke sekian kalinya dicetak oleh Darul Fikril Islamy al-Haditsah yang ditahqiq oleh Dr. Muhammad Abdul Salam Abu al-Nail dan kemudian dicetak ulang pada tahun 2005 oleh Darul Kutubil Ilmiyah di Beirut, Lebanon dengan pentahqiq Dr. Abu Muhammad al-Suyuthi.


BAB III
KAJIAN TAFSIR MUJAHID

A. Metode Penulisan Kitab Tafsir
A.1. Macam-macam metode penafsiran
Metode dalam bahasa Arab biasa disebut dengan istilah al-manhaj atau thariqat al-tanawih. Sedangkan yang dimaksud metode itu sendiri sebagaimana dijelaskan oleh Drs. Abdul Kholid dalam salah satu diktatnya yang mengutip dari pendapat Dr. Ibrahim Syarif adalah suatu cara atau alat untuk merealisasikan tujuan aliran-aliran tafsir.
Pengertian yang sangat general ini berdampak pada kerancuan dalam menentukan metodologi dalam sebuah penafsiran sebab banyak pihak yang menawarkan berbagai istilah tentang hal tersebut tanpa memilah dari segi mana term itu dimunculkan. Oleh karena itu, definisi berikut ini dapat dikatakan sebagai standar ukuran batasan yang jelas dalam mengartikan metodologi penasiran al-Qur’an dengan mangkombinasikan berbagai pendapat baik dari mutaqaddimin ataupun mutaakhirin. Metode penafsiran al-Qur’an ialah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an baik yang didasarkan pada pemakaian sumber-sumber penafsirannya, sistem penjelasan tafsirannya, keluasan penjelasannya juga sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan.
Dari definisi tersebut ditarik benang merah bahwa metodologi penafsiran al-Qur’an itu dapat dikalsifikasikan dalam empat kelompok.
1) Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir dapat dibedakan menjadi tiga macam.
a. Metode tafsir bi al-ma’tsur yaitu tafsir yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri dan riwayat-riwayat, baik dari Nabi, sahabat maupun tabiin. namun yang terkahir ini masih khilafiyah. Ada juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir yang didominasi oleh fakta dan peninggalan Nabi dan para sahabatnya.
b. Metode tafsir bi al-ra’yi yatu tafsir yang bersumber kepada ijtihad seorang mufasir. Pendapat lain mengatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi ini adalah tafsir yang porsi periwayatannya lebih sedikit daripada pemikiran-pemikiran rasional mufasirnya. Pada perkembangannya, para ahli ilmu tafsir membagi tafsir al-ra’yi ini dalam dua kategori, tafsir bi al-ra’yi mamduh maqbul yaitu apabila mufasirnya sudah memenuhi syarat yang telah disepakati oleh para ulama dan hasilnya pun juga tidak menyalahi dalil yang sudah jelas dan disepakati. Yang lainnya adalah tafsir bi al-ra’yi madzmum mardud yaitu jika mufasirnya tidak memenuhi syarat seorang mufasir dan penafsirannya bertentangan dengan dalil lain yang sudah jelas.
c. Untuk macam yang ketiga ada yang berpendapat metode tafsir bi al-iqtirany, tafsir perpaduan antara bi al-ra’yi dan bi al-ma’tsur. Dan ada pula yang menyebut tafsir isyary, tafsir berdasarkan ilham atau intuisi yang biasa digunakan oleh golongan para sufi.
2) Dari cara penjelasannya, tafsir al-Qur’an terbagi menjadi dua macam.
a. metode Bayani/ deskripsi yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-aat al-Qur’an hanya dengan memberikan penjelasan secara deskripsi tanpa membandingkan riwayat atau pendapat juga tana menilai (tarjih) antar sumber
b. metode muqarin/ komparasi yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara dalam masalah yang sama, ayat dengan hadis juga pendapat antara mufasir satu dengan mufasir yang lainnya dengan menonjolkan segi-segi perbedaan.
3) Dari segi keluasan penjelasannya, tafsir al-Qur’an dibagi menjadi dua macam.
a. metode tafsir ijmaly yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an hanya secara global saja, tidak mendalam dan tidak pula secara panjang lebar
b. Metode tafsir Ithnaby yaitu menafsirkan al-Qur’an secara mendetail atau rinci dengan uraian yang panjang lebar.
4) Berdasarkan sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan, penafsiran al-Qur’an terinci menjadi tiga macam.
a. metode tafsir tahlily yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara urut dan tertib sesuai dengan uraian ayat dan surat dalam mushaf dari awal surat al-Fatihah hingga akhir surat al-Nas
b. metode tafsir Maudlu’iy yaitu penafsiran dengan cara mengumpulkan ayat yang mempunyai satu topik dengan memperhatikan terlebih dahulu masa turunnya dan asbab al-nuzul ayat, munasabahnya dan juga hal yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut hingga kemudian menyimpulkan masalah yang dibahas dan dilalah aya-ayat yang ditafsirkan secara terpadu.
c. metode tafsir al-nuzuly yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an denganb cara urut dan tertib sesuai dengan turunnya al-Qur’an.
A.2. Metodologi Tafsir Mujahid
Di awal telah dijelaskan beberapa macam metode penafsiran al-Qur’an. Mencermati isi dalam kitab Tafsir Mujahid ini, tampak bahwa metodologi yang diaplikasikan adalah sebagai berikut:
- Berdasarkan sumber penafsirannya, kitab ini masuk dalam kategori tafsir bi al- ma’tsur. Sebagai contoh yaitu penafsirannya surat Yusuf ayat 31.
أنا عبد الرحمن نا إبراهيم نا آدم نا ورقاء عن حصين عن مجاهد عن ابن عباس في قوله وآتت كل واحدة منهن سكينا يقول أعطت كل واحدة منهن سكينا
Dan Surat al-Baqarah ayat 65 yang Mujahid tafsiri dengan al-Jumu’ah ayat 5.
أنا عبد الرحمن قال نا إبراهيم قال نا آدم قال نا ورقاء عن ابن أبي نجيح عن مجاهد في قوله كونوا قردة خاسئين قال لم يمسخوا قردة ولكنه كقوله كمثل الحمار يحمل أسفارا
Namun, tafsir ini juga memuat hasil ijtihad Mujahid sendiri dan ada juga riwayat israiliyat seperti pada contoh penafsiran pada Surat al-Kahfi ayat 86
انا عبد الرحمن قال نا إبراهيم قال نا آدم قال نا ورقاء عن ابن أبي نجيح عن مجاهد فأتبع سببا يعني منزلا وطرقا بين المشرق والمغرب
أنا عبد الرحمن قال نا إبراهيم قال نا آدم قال نا ورقاء عن حصين بن عبد الرحمن عن مجاهد قال لم يملك الأرض كلها إلا أربعة مؤمنان وكافران فالمؤمنان سليمان بن داود وذو القرنين والكافران نمروذ بن كوش وبخت نصر
انا عبد الرحمن قال نا إبراهيم قال نا آدم قال نا ورقاء عن ابن أبي نجيح عن مجاهد في عين حمئة يعني طينة سوداء ثأط
Akan tetapi sumber periwayatan tetap mendominasi di dalamnya.
- Berdasarkan cara ia menjelaskan, kitab tafsirnya ini termasuk tafsir yang bersifat bayani, mendeskripsikan tanpa mengkomparasikan. Terlihat dari penafsirannya Surat al-Maidah ayat 5.
انا عبد الرحمن قال نا إبراهيم قال نا آدم قال ثنا ورقاء عن ابن أبي نجيح عن مجاهد في قوله وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم قال يعني ذبائحهم حل لكم
Namun ternyata dalam kitab ini juga terdapat pengkomparasian namun tidak sampai pada level pentarjihan. Contoh pada Surat al-Baqarah ayat 284.
انا عبد الرحمن قال نا إبراهيم قال نا آدم قال نا ورقاء عن عطاء بن السائب عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال لما نزلت إن تبدوا ما في أنفسكم أو تخفوه نسختها الآية التي بعدها لا يكلف الله نفسا إلا وسعها لها ما كسبت وعليها ما اكتسبت
انا عبد الرحمن قال نا إبراهيم قال نا آدم قال ثنا ورقاء عن ابن أبي نجيح عن مجاهد في قوله إن تبدوا ما في أنفسكم أو تخفوه من الشك واليقين
- Ditinjau dari keluasan penjelasannya, kitab tafsir ini bersifat ijmaly, menerangkan dengan secara global, tidak terlalu panjang lebar juga tidak mencantumkan perangkat-perangkat tafsir sepeti asbab al-nuzul, naskh mansukh, munasabah dan sebagainya. Hal ini terbukti dalam penafsirannya Surat al-Maidah ayat 3.
أنبا عبد الرحمن قال ثنا إبراهيم قال نا آدم قال حدثنا ورقاء عن ابن أبي نجيح عن مجاهد في قوله وما ذبح على النصب قال حجارة كانت حول الكعبة كان يذبح لها أهل الجاهلية ويبدلونها إذا شاؤوا وإذا رأوا ما هو أعجب إليهم منها
انبا عبد الرحمن قال ثنا إبراهيم قال ثنا آدم قال ثنا ورقاء عن ابن أبي نجيح عن مجاهد وإن تستقسموا بالأزلام قال هي قداح القمار يضربونها لكل سفر وغزو وتجارة
انبا عبد الرحمن قال ثنا إبراهيم قال ثنا آدم قال ثنا ورقاء عن ابن أبي نجيح عن مجاهد قال الجوارح الطير والكلاب
- Sedangkan dari sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan, kitab ini merupakan bagian dari metode tafsir tahlily, urutannya sesuai mushaf meskipun tidak keseluruhan ayat al-Qur’an ditafsirkan di dalamnya, hanya sebagian kecil ayat yang tidak ia tafsirkan seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan mengenai keberadaan kitab.

B. Kecenderungan Tafsir Mujahid
Dengan berakhirnya masa sahabat, tradisi penafsiran dilanjutkan oleh generasi era tabi’in dengan pola yang masih relatif sama. Memang ada beberapa hal yang membedakan tradisi penafsiran era sahabat dan era tabi’in. Di era sahabat belum muncul sektarianisme, aliran-aliran tafsir secara tajam. Sementara di era tabi’in sudah mulai muncul berbagai aliran tafsir berdasarkan kawasan. Hal itu disebabkan karena para mufasir dari kalangan tabi’in yang dulunya berguru dengan para sahabat kemudian menyebar ke beberapa daerah bahkan pada saat itu mulai muncul pula sektarianisme ideologi, seperti yang dinisbatkan kepada Imam Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi yag dinilai berbau aliran qadariyah, karena terlalu dalam ketika ia berbicara masalah qada’ dan qadar. Itulah yang menyebabkan sebagian orang enggan untuk mengambil riwayat darinya.
Sebagai hasil karya manusia, tafsir mujahid yang ikut mewarnai khazanah keilmuan tafsir di dunia Islam juga tidak terhindarkan dari adanya beberapa tendensi atau kecenderungan yang menjadi salah satu faktor yang menimbulkan keragaman corak penafsiran.
Memang benar tafsir era tabi’in sudah terdapat kecenderungan akan tetapi hal itu tidak sampai kepada tendensi atas disipilin ilmu tertentu, hanya terbatas pada letak geografis dimana mufasir itu berada dan menerima riwayat-riwayat mengingat penafsiran periode ini masih bercampur dengan hadis.
Secara geografis, pada saat itu paling tidak terdapat tiga aliran yang menonjol, yaitu: pertama, aliran Makkah yang dipelopori oleh Ibn Abbas. Kedua, aliran Madinah, tokohnya adalah Ubay bin Ka’ab. Ketiga, aliran Irak yang diketuai oleh Abdullah ibn Mas’ud. Selain itu ada juga aliran lain yang ikut mewarnai tafsir era tabi’in seperti aliran Bashrah yang juga banya dipengaruhi oleh aliran Makkah yang salah satu tokohnya adalah Ibnu Sirin.
Perbedaan yang cukup signifikan dari beberapa aliran ini adalah coraknya. Aliran Makkah dan Madinah masih cenderung bercorak tradisionalis, dalam arti lebih banyak menggunakan riwayat, sedangkan di Irak mulai muncul corak tafsir bi al-ra’yi (rasional). Hal ini terjadi karena kondisi geografis Irak yang cukup jauh dari Madinah (sebagai pusat studi hadis), sehingga mereka cenderung menggunakan ra’yu (ijtihad) ketika tidak ditemuan riwayat. Di samping itu, secara politis tradisi penafsiran yang cenderung rasiuonal itu mendapat dukungan dari gubernur ‘Ammar ibn Yasir yang diangkat oleh khalifah Umar bin Khattab yang notabene dikenal sebagai sahabat yang rasionalis.
Dari ketiga pemetaan aliran secara geografis di atas, Mujahid termasuk pada aliran Makkah karena dia adalah salah satu murid dari Ibnu Abbas yang notabene sebagai guru tafsir aliran Makkah.Dari sini juga bisa dikatakan bahwa karya tafsir Mujahid cenderung bercorak tradisionalis, yakni dalam upaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an ia masih banyak menggunakan riwayat-riwayat atau biasa disebut dengan tafsir bi al-ma’tsur. Namun tidak menutup kemungkinan adanya ijtihad Mujahid dalam penafsirannya itu.
Selain itu, sebagai murid Ibnu Abbas, dalam hal upaya menafsirkan al- Qur’an ia juga dimungkinkan untuk mengikuti jejak gurunya walaupun sebenarnmya masih ada juga sedikit perbedaan dengannya. Seperti dalam contoh berikut ini,
Penafsiran Mujahid mengenai Surat al-Baqarah ayat 65 yang ditafsirinya dengan al-Jumu’ah ayat 5
أنا عبد الرحمن قال نا إبراهيم قال نا آدم قال نا ورقاء عن ابن أبي نجيح عن مجاهد في قوله كونوا قردة خاسئين قال لم يمسخوا قردة ولكنه كقوله كمثل الحمار يحمل أسفارا

Dan berikut penafsiran Ibnu Abbas dalam Tanwir al-Miqbas min Tafsiri Ibn Abbas mengenai surat dan ayat yang sama.

{ وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ } عرفتم وسمعتم عقوبة { الذين اعتدوا مِنْكُمْ } بأخذ الميثاق { فِي السبت } يوم السبت في زمن داود { فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُواْ قِرَدَةً خَاسِئِينَ } صيروا قردة ذليلين صاغرين


C. Penilaian Ulama
Kendati tafsir tabi’iin tidak jauh berbeda dengan penafsiran sahabat, namun kualitasnya tetap tdak bisa disamakan baik dibandingkan dengan nilai tafsir zaman Rasulullah maupun zaman sahabat sendiri. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangannya, tafsir tabi’in jauh lebih berkembang dari pada dua periode sebelumnya, yang awalnya hanya dikenal dengan tafsir bil ma’tsur, pada masa tabi’in muncul istilah baru yang disebut dengan tafsir bi al-ra’yi. Barangkali karena alasan ini yang menyebabkan kualitas penafsiran para tabi’in dinilai lebih rendah dari nilai penafsiran sebelumnya.
Kualitas tafsir tabi’in ini yang menjadikan para ahli berbeda pendapat dalam menjadikannya sebagai dasar atau dalil. Satu pihak menolak hasil penafsiran pada periode tabi’in, karena secara kronologis, para tabi’in tidak mendengar langsung dari Nabi Muhammad SAW. atas apa yang mereka tafsirkan. Alasan yang lain adalah bahwa para tabi’in tidak menyaksikan saat turunnya al- Qur’an. Maka boleh jadi, para tabi’iin keliru dalam memahami apa yang sesungguhnya dimaksud oleh al-Qur’an. Sementara pihak yang menerima hasil penafsiran tabi’in, mereka beralasan bahwa mayoritas tafsiran tabi’in berkaitan denga hasil tafsiran yang dilakukan oleh para sahabat. Pendapat ini merujuk pada perkataan Mujahid dan Qatadah yang menyatakan bahwa tidak ada satu ayat pun dari al-Qur’an, kecuali tafsirannya telah didengar oleh sahabat.
Selanjutnya, menilai penafsiran periode tabi’in, al Dzahabi menjelaskan bahwa penafsiran mereka ini mempunyai kelebiahan dan kekurangan, baik pada sumber penafsiran maupun kulaitas tafsirnya sendiri yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Tafsir pada periode ini memasukkan Isra’iliyyat maupun Nashraniyyat, terutama yang berhubungan dengan pemberitaan umat masa lalu dan syari’atnya yang disandarkan pada tokohnya dari ahlul kitab yang telah masuk Islam.
2. Tafsir pada periode tabi’in menjadi pemelihara dan penyambung periwayatan dari periode sahabat , terutama tafsir bil ma’tsur.
3. Benih-benih penafsiran pada periode ini mulai tampak ke permuakan.
4. Munculnya perbedaan antara tafsir periode tabi’in dan periode sahabat
Demikian beberapa penilaian para ulama terhadap tafsir periode tabi’in. Tentunya hal itu juga berlaku bagi tafsir karya Mujahid yang sudah jelas merupakan tafsir dari seorang tabi’in.Akan tetapi terlepas dari itu semua, ada riwayat dari Al-Nawawi yang mengatakan bahwa tafsir Mujahid itu merupakan representasi dari tafsir-tafsir yang lain.Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai kredibilitas sosok seorang Mujahid yang hampir tidak ditemukan adanya penilaian negatif terhadapnya.

D. Analisis
Mujahid bin Jabr selain dikenal sebagai seorang mufassir di era tabi’in, dia juga dikenal sebagai seorang budak. Bahkan berdasarkan beberapa riwayat yang telah dibahas lebih dalam pada bab sebelumnya dapat diprediksikan bahwa ia pernah menjadi budak dari beberapa tuan, artinya ada kemungkinan besar bahwa sebagian dari masa hidupnya dihabiskan untuk menjadi sahaya yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada orang lain secara bergilir.
Terkait dengan dia yang juga berpredikat sebagai seorang mufassir yang juga menurut beberapa riwayat dinyatakan bahwa ia telah berkali-kali melakukan perlawatan ke mana-mana, pastinya (kemungkinan besar) ia memerlukan waktu yang lama dan ruang gerak hidup yang tidak terbatas atau dibatasi oleh siapa pun termasuk tuan yang telah menjadikannya seorang budak.
Berdasarkan adanya dua kemungkinan tersebut, antara dia sebagai budak dan seorang mufassir yang sering mengadakan perlawatan ke berbagai daerah, maka hal ini meninmbulkan beberapa kejanggalan yang mengundang pertanyaan yang harus terjawab. Rasionalisasinya, jika dia dinyatakan sebagai seorang budak yang notabene hidupnya terbatas karena berada di bawah kekuasaan tuannya, maka mustahil ia bisa dengan bebas berkeliling ke berbagai daerah hanya untuk kepentingan pribadinya dalam merampungkan karya tafsirnya. Namun jika ada pernyataan bahwa ia mulai berkeliling setelah ia merdeka dari dunia perbudakan, maka setidaknya ada penjelasan mengenai kapan dia merdeka dan siapa yang telah memerdekakannya. Kerena sejauh ini, belum ditemukan adanya riwayat yang menjelasakan hal tersebut baik secara ekspilisit maupun implisit.
Jadi, kemajhulan dari kenyataan tersebut akan berimplikasi pada nilai validitas dari tafsir Mujahid itu sendiri. Karena bagaimana pun segala bentuk kemajhulan dari suatu riwayat harus diperjelas setransparan mungkin apa lagi riwayat tersebut menyangkut validitas dari sebuah karya yang nantinya menjadi salah satu sumber rujukan atau referensi.
Tafsir Mujahid dilihat dari banyaknya ayat yang telah dijelaskan (ditafsiri), maka karya ini termasuk bukan karya kecil, artinya dalam proses pengadaannya, selain butuh tenaga pasti juga memerlukan ketekunan dan waktu yang relatif lama dari seorang mufassirnya. Menurut suatu riwayat telah dijelaskan bahwa Mujahid wafat pada saat berusia kurang lebih 83 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ia salah satu umat Nabi Muhammad yang punya kesempatan hidup di atas rata-rata.
Melihat fakta tersebut, timbul lagi sebuah pertanyaan yang harus terjawab dengan sejelas-jelasnya mengenai sejak pada usia berapa seorang Mujahid mulai bergelut di dunia tafsir dan berapa lama waktu yang telah dihabiskannya untuk merampungkan karya tafsirnya tersebut. Sementara di sebuah riwayat juga telah dijelaskan bahwa sebagian masa hidupnya ia habiskan sebagai seorang budak dan hal ini juga mempertajam pertanyaan tersebut untuk segera dijawab.
Berdasarkan data-data yang telah ada, ternyata tidak mudah untuk sekadar menemukan penjelasan yang mengungkapkan jawaban atas pertanyaan tersebut, baik data itu yang berasal dari riwayat maupun bukti-bukti otentik seperti manuskrip dan lain sebagainya. Namun terlepas dari tidak adanya data-data mengenai hal tersebut, setidaknya dengan melihat salah satu data yang menyatakan bahwa pembahasan-pemabahasan manuskrip-manuskrip tersebut telah berhasil dirampungkan pada sekitar tahun 544 H, maka dapat diprediksikan dan ditarik kesimpulan bahwa bahan baku tafsir Mujahid itu terkumpul setelah empat abad dari wafatnya Mujahid selaku penulisnya.
Melihat dari sangat jauhnya jarak waktu antara saat manuskrip itu ditulis dengan ketika manuskrip itu terkumpul, tidak menutup kemungkinan adanya campur tangan pihak lain yang telah ikut mewarnai manuskrip tersebut sehingga akan mengurangi nilai originalitas tafsir tersebut. Apa lagi mengingat karya tafsir pemeliharaanya tidak seperti al quran dan hadis, hal inilah yang lebih memungkinkan adanya keberania pihak lain untuk mengurangi nilai keaslian manuskrif tafsir tersebut.
Setelah dicermati seputar metode yang berdasarkan atas sumber penafsirannya, ternyata Tafsir Mujahid dapat dikategorikan pada tafsir bi al-ma’tsur yakni tafsir yang bersumber dari riwayat-riwayat para sahabat. Namun apabila diteliti lebih lanjut tampak ada sesuatu yang belum tercover di dalamnya karena mengingat ada banyak referensi yang mengatakan bahwa penafsiran para tabi’in sudah mulai berpegang terhadap ra’yu, tidak hanya fokus terhadap riwayat-riwayat. Pada hakikatnya, adanya ijtihad sebagai salah satu sumber dalam penafsiran al-Qur’an itu sudah ada sejak masa sahabat, namun ra’yu atau ijtihad pada masa tabi’in ini intensitasnya lebih banyak daripada sebelumnya -periode sahabat-. Dengan informasi hasil penelitian para ulama ini dapat dipastikan bahwasanya Tafsir Mujahid ini juga tidak sepi dari nuansa ijtihad atau ra’yu dari mufasirnya.
Di lain tempat, ketika anggapan ini dicoba untuk diklarifikasi langsung terhadap yang bersangkutan –Mujahid, penulisnya sendiri-, maka diperoleh pembelaan dari Mujahid, sebagaimana dinarasikan oleh anaknya. Ibn Mujahid berkata “ada seorang laki-laki datang menghadap ayahku dan bertanya ‘kamu adalah orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatmu, benar?’ kemudian ayahku pun menangis mendengarnya seraya berkata ‘sesungguhnya saya adalah orang yang tidak berani. Sungguh, saya telah mempelajari dan memahami tafsir itu dari sepuluh orang sahabat Nabi’”.
Dari kedua berita itu, meskipun sekilas tampak bermasalah, namun hal tersebut bisa dipadukan. Tafsir Mujahid memang terlihat tidak selamat dari adanya unsur ijtihad atau ra’yu di dalamnya namun hal itu hanya sebagian kecil dan pemikirannya itu pun tidak bertentangan dengan para pendahulunya, sebatas pengembangan dan pendalaman saja. Barangkali alasan ini yang membuatnya membela diri. Dengan demikian, berlaku untuknya definisi tafsir bi al-ma’tsur versi Nashruddin Baidan. Selain itu, banyak pula statemen yang menyatakan bahwa tidak ada satu pun penafsiran yang murni bi al-ma’tsur, tanpa ada sisi pemikirannya sama sekali, begitu juga tafsir murni bi al-ra’yi, tanpa mengindahkan unsur periwayatan sedikit pun.
Ada atau tidaknya unsur pemikiran dalam sebuah hasil penafsiran memang mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan kualitasnya. Sampai sekarang ini masih disepakati bahwa tafsir yang didominasi oleh pemikiran daripada periwayatan itu masih dipertimbangkan dulu kevalidannya, karena hal itu mengindikasikan bahwa tafsir ini sudah tidak asli lagi, banyak terkontaminasi oleh pihak-pihak tertentu di dalamnya. Peraturan yang seperti ini kelihatannya tidak berlaku untuk Tafsir Mujahid karena di samping kredibilitas muifasirnya tidak diragukan, produk tafsirnya juga dinilai cukup representatif.
Menyinggung tentang dunia politik di masa kehidupannya, berdasarkan riwayat, Mujahid pernah mengalami hidup di bawah dua masa pemerintahan Islam. Awalnya, dia lahir ketika masa akhir pemerintahan khulafa al-Rasyidin dan selanjutnya, di sebagian masa hidupnya lagi berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah. Melihat kenyataan yang demikian ini, dapat dikatakan bahwa Mujahid pernah merasakan dua bentuk pemerintahan Islam selama hidupnya.
Di antara kedua pemerintahan Islam yang pernah dialaminya, menurut riwayat, dia termasuk orang yang apatis dan menentang terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Jika dikaitkan dengan tafsir yang ditulisnya, bukan suatu yang mustahil dia mengikutsertakan pemikirannya ke dalam tafsirnya mengenai kehidupan politik yang pernah dialaminya, terutama sebuah pemerintahan yang jelas-jelas tidak disukainya.
Dalam sekte atau aliran ideologi, ada riwayat yang menjelaskan bahwa ia adalah golongan Shi’i. Sumber tertua berupa penafsiran Syaikh Abu al-Qasim al-Furat Kufi dan Tafsir al-Qumi karya Syaikh Ali bin Abu al-Hasan Ibrahim al-Qumi yaitu penafsir Imamiyah terkenal yang hidup pada akhir abad ke 3 H/ 4 M telah menjelaskan dengan tegas bahwa Mujahid adalah seorang Shi’i.
Selain mengklaim bahwa Mujahid adalah seorang Shi’i, mereka dan yang lainnya (orang-orang Shi’i), mempercayai dan menjadikan Tafsir karya Mujahid ini sebagai bahan rujukan tafsir mereka. Jika tafsir mujahid ini telah dijadikan rujukan mufassir di kalangan Shi’ah, maka berarti isi dari karya tafsir ini memiliki kecenderungan pada satu aliran yaitu Shi’ah. Namun jika tidak demikian adanya, maka tidak mungkin orang-orang Shi’ah menjadikannya sebagai bahan rujukan. Sebab sebuah karya tafsir merupakan representasi dari pemikiran mufassirnya. Maka, dengan demikian jelaslah bahwa kemungkinan besar Mujahid ini benar-benar golongan Shi’ah.
Berbicara mengenai keberadaan kitabnya, ada dua sumber yang telah menjelaskannya seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumya. Secara singkat, menurut sumber yang pertama, menyatakan bahwa tafsir Mujahid ini membahas ayat al-Qur’an berdasarkan ururan surat yang dimulai dari surat al-Baqarah sampai dengan surat al-Anbiya. Sedangkan menurut sumber yang lainnya mengatakan bahwa tafsir ini memuat penafsiran mulai dari surat al-Baqarah sampai dengan surat An-Nas.
Adanya perbedaan data dari penjelasan kedua sumber tersebut mungkin karena bedanya jumlah manuskrip-manuskrip yang telah ditemukan oleh masing-masing sumber. Hal ini menandakan bahwa tidak adanya kesatuan pendapat di antara beberapa sumber sehingga hal ini juga menimbulkan kejanggalan yang juga cenderung mepengaruhi validitas tafsir tesebut.
Menelaah tentang identik tidaknya penafsiran Mujahid dengan gurunya, Ibnu Abbas, maka bisa dilihat dari cara keduanya dalam memahami ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat. Menurut Ibnu Abbas, ayat-ayat Muhkam adalah ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan. Artnya adalah ayat tentang halal dan haram, atau dengan kata lain, ayat-ayat yang berhubungan dengan syari’at aplikatif (tasyri’ amali). Adapun ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang harus diimani tetapi tidak perlu diamalkan, atau dengan kata lain, ayat-ayat yang tidak berhubungan dengan ayat-ayat tasyri’, baik karean hukumnya dihapus (mansukh) sehingga dalam mushaf hanya tersisa bacaannya saja atau karena ayat-ayat tersebut tidak termasuk ayat-ayat hukum.
Berbeda dengan Mujahid -murid Ibnu Abbas sekaligus perawi tafsirnya-, dia berbeda dengan gurunya mengenai al-mutasyabihat, sekalipun ia sepakat dalam al-muhkam. Al muhkam menurut dia adalah juga merupakan halal dan haram. Di luar itu, dia mengkategorikannya sebagai al –mutasyabihat. Dalam memahami ayat mutasyabihat, Mujahid menawarkan konsep yang menggiring pembaca pada nuansa penakwilan Mu’tazilah. Hal ini bisa dilihat pada bagaimana ia memahami surat al-Baqarah ayat 26 surat al-An’am ayat 125 dan Muhammad ayat17.
Di atas juga telah disinggung mengenai sisi-sisi perbedaan dari pemikiran Mujahid dengan gurunya, Ibnu Abbas. Hal itu dianggap cukup untuk dijadikan argumen bahwa memang Mujahid tidak hanya mengambil pelajaran dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan al-Qur’an, tetapi ia juga menerapkan pengetahuannya yang lain, khususnya dalam masalah penafsiran yang diperoleh dari guru-gurunya yang lain ketika dia mengadakan perlawatan ke berbagai daerah.Selain itu, dari rihlahnya ke berbagai daerah juga membuat penafsirannya tidak murni seratus persen beraliran Makkah yang terkenal cenderung tradisionalis daripada Irak.
Ketidak samaan Mujahid dengan gurunya, Ibnu Abbas –meskipun bukan guru satu-satunya- bukan menjadi persoalan yang alot karena Mujahid juga memiliki dasar dan pijakan sendiri yang ia yakini, namun masih tetap dalam koridor seorang mufasir dengan tidak menanggalkan aturan-aturan bagi predikat mufasirnya.

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Tafsir Mujahid adalah salah satu produk tafsir periode tabi’in, tepatnya lagi karya dari seorang tabi’in yang bernama Mujahid bin Jabr. Nama lengkapnya adalah Abu al-Hajjaj Mujahid bin Jabr al-Makki al-Qurasyi al-Makhzumy. Mujahid bin Jabr adalah seorang tabi’in, murid dari Ibnu Abbas yang pusat kajian tafsirnya bertempat di Makkah. Dia juga seorang budak. Mengenai siapa tuannya, hal itu masih banyak pendapat, akan tetapi anehnya berbagai opini itu sama-sama bersumber dari riwayat yang sanadnya terhenti pada Mujahid sendiri.
Tokoh ini dilahirkan di Makkah pada tahun 21 H dalam keluarga Muslim pada masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab dan wafat pada tahun 104 H setelah kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz meskipun sebenarnya masalah tahun wafatnya itu masih khilafiyah. Di samping terkenal sebagai mufasir, ia juga menyandang predikat muhaddits dan muqri’. Status ini sesuai dengan disiplin ilmu yang ia dalami, tafsir, hadis dan qira’at.
Kepribadian dari tokoh yang satu ini bisa dikatakan kritis, ia tidak akan mempercayai tentang suatu kabar yang tidak didengarnya langsung baru ia akan percaya jika ia menyaksikan sendiri dan beremu langsung dengan sumber dari informasi itu. Oleh sebab itu Mujahid tidak hanya berdiam di Makkah, ia pun mengadakan rihlah ke berbagai daerah seperti Yaman, Mesair, Kufa, negara-negara timur, Madinah dan yang lainnya.
Dari perjalanannya tersebut, Mujahid banyak beremu dengan para seniornya dan mengambil ilmu dari mereka. Hal ini membuktikan bahwa guru Mujahid itu tidak hanya Ibnu Abbas. Mereka itu adalah para sahabat terkenal yang di antaranya, Ali bin abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash, Aisyah binti Abu Bakar, Abu Hurairah dan tokoh-tokoh lainnya yang juga termasuk para pembesar tafsir dan hadis. Tidak hanya memiliki banyak guru, murid-murid Mujahid juga tidak kalah banyak. Di antaraya adalah Ikrimah, Fadil bin Umar, Qatadah bin Di’amah bin Qatadah, ’Atha’ bin Abi Rabah, Umar bin Dinar al-Atsram dan sebagainya.
Munculnya seorang Mujahid itu tidak lepas dari pandangan dan penilaian dari para ulama-ulama lainnya. Mayoritas ulama memberikan nilai yang positif baginya baik sebagai muhaddis ataupun mufasir. Salah satu bukti dari hal tersebut adalah penilaina dari gurunya sendiri yaitu Ibnu Abbas yang pernah menyatakan bahwa Mujahid adalah orang yang sangat hati-hati dan teliti dengan membaca al-Qur’an sebanyak tiga puluh kali beserta keterangannya di hadapan Ibnu Abbas langsung.
Selain beberapa pujian yang ditujukan kepadanya, ternyata ada pula yang menilai miring tentangnya. Ada sebagian pihak yang menilai Mujahid adalah seorang Shi’isme, tentunya dengan beberapa argumen yang mereka jadikan sandaran.
Tafsir Mujahid adalah satu-satunya karya Mujahid yang terdeteksi, sementara ini belum ditemukan lagi referensi atau literatur yang memberikan catatan tentang adanya karya lian dari seorang Mujahid. Tafsir yang ada di tangan para penikmat tafsir ini pun sebenarnya tidak pernah ia kumpulkan dan himpun sendiri. Tafsir ini adalah kumpulan dari manuskrip-manuskrip tafsir yang ditemukan pada abad ke-5 H, empat abad setelah ia meninggal di penerbit Darul Kutub al-Misriyyah yang terdiri dari delapan jilid seperti yang telah dijelaskan di awal.
Isi dalam tiap-tiap jilid yang (awal dan akhirnya) diterbitkan perdana oleh Darul Kutub al-Misriyyah yang isinya bersal dari Abu al-Qasim 'Abd al-Rahman ibn Ahmad ibn Muhammad ibn 'Ubayd al-Hamadzani dan sampai pada Mujahid melalui Ibrahim dari Adam dari Warqa' dari Abu Najih. Dari sanad inilah kemudian tafsir ini tertulis dan dicetak dan setelah itu tafsir ini beberpa kali mengalami cetak ulang yang antara lain oleh al-Manshurat al-'Ilmiyyah, Beirut dalam bentuk dua volume dengan editor 'Abd al-Rahman al-Surati Tahir, kemudian dicetak oleh Darul Fikril Islamy al-Haditsah yang ditahqiq oleh Dr. Muhammad Abdul Salam Abu al-Nail dan kemudian dicetak ulang untuk ke sekian kalinya pada tahun 2005 oleh Darul Kutubil Ilmiyah di Beirut, Lebanon dengan pentahqiq Dr. Abu Muhammad al-Suyuthi.
Sedangkan mengenai internal kitab, Tafsir Mujahid ini dari metodenya masuk ke dalam kategori tafsir bi al-ma’tsur berdasarkan sumber penafsirannya walaupun memang terdapat ijtihadnya sendiri juga beberapa riwayat israiliyat, metode bayani dari segi cara menjelaskannya, bersifat ijmaly dari sisi keluasan penjelasannya dan metode tahlili ditinjau dari sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkannya.
Sebagaimana problematika yang terjadi pada kebanyakan kitab tafsir, hal ini juga terjadi pada Tafsir Mujahid. Setiap tafsir tidak akan sepi dari kecenderungannya masing-masing tak terkecuali Tafsir Mujahid. kitab ini memang mempunyai kecenderungan, namun hanya sebatas pengaruh dari geografisnya, tafsir aliran Makkah yang lebih tardisionalis daripada tafsir aliran Irak pada masa itu. Kecenderungan kitab tafsir ini tidak sampai pada corak disiplin ilmu tertentu, hanya sebatas kental dengan nuansa penafsiran dari gurunya.
Satu hal lagi tentang kitab tafsir ini yaitu masalah penilaian ulama terhadapnya. Banyak ulama yang menyangsikan kualitas dari tafsir dalam kurun waktu ini dan berlaku pula bagi Tyafsir Mujahid, kendati begitu, tak sedikit juga ulama yang mengapresiasi kitab tafsir ini dengan menjadikannya sumber rujukan berbagai kitab tafsir sesudahnya terutama kalangan Shi’i..

B. Saran
Dari kajian tentang Tafsir Mujahid mulai dari profil mufasirnya, keberadaan kitab, metode, keenderungan dan penilaian para ulama terhadapnya diharapkan menjadi pintu masuk bagi calon-calon mufasir berikutnya untuk lebih mengenal dunia tafsir dan perkembangannya sejak dari masa Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya dan juga bisa menjadi alarm bagi para generasi muda Islam untuk tidak selalu terlena dengan hal yang sifatnya instan, mudah, simpel dan praktis. Seperti kebanyakan mufasir khususnya pelajar tafsir di Indonesia yang kebanyakan menggunakan sumber-sumber yang hanya bernuansa domestik, enggan mengkonsumsi literatur-literatur aslinya.
Idealnya, seorang mufassir harus mempunyai data yang lengkap untuk mendukung keakuratan produk tafsirnya.Karena bagaimana pun, data termasuk salah satu komponen penting dalam memaparkan segala sesuatu , lebih-lebih jika yang dipaparkan itu mertupakan sebuah ulasan pemahaman mengenai wahyu yang datangnya dari Tuhan yang notabene sifatnya sangat sakral dan tidak sembarangan dalam hal memahaminya.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zaid, Nasr hamid. 2003. Menalar Firman Tuhan. Bandung: Mizan.
Ali al-Shabuni, Muhammad. 2003. Al-Tibyan fi Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.

Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesi. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Bakir, Anto. 1992. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Al-Daudi, Muhammad bin Ali bin Ahmad. Tt. Thabaqat al Mufassirin. Juz II. Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah.

Al-Dzahabi, Husain. 2000. Al Tafsir wa-al Mufassirun. Kairo: Maktabah Wahbah.

Khaeruman, Badri. 2004. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Kholid, Abdul. 2007. Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir. Surabaya: tp.
Mustaqim, Abdul. 2008. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mujahid bin Jabr, Abi al-Hajjaj. 2005. Tafsir Mujahid. Beirut: Darul kutubil Ilmiyah.

Suratman, Winarna. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tersita.
Al-Syamilah, al-Maktabah. Tafsir Mujahid bin Jabr.
Al-Syamilah, al-Maktabah. Tanwir al-Miqbas min Tafsiri Ibn Abbas
file:///F:/ieb_quran_mujahid.htm